Makna dibalik PIALA ADIPURA
Sampah masih menjadi masalah di hampir semua kota di Indonesia. Mulai dari
kota kecil sampai kota metrolitan sekalipun. Berbagai alternatif penyelesaian
sampah telah diusahakan oleh berbagai pihak, tetapi tampaknya belum memberikan
hasil yang memuaskan. Oleh karena keprihatinan inilah, maka kami telah mencoba
menerapkan suatu teknologi terapan yang diaplikasi dari berbagai teknologi
canggih berbagai negara agar mendapatkan suatu teknik pengolahan sampah yang
benar-benar sempurna dan bermanfaat guna. Teknologi ini kami
namakan Pengolahan Sampah Berwawasan Lingkungan ( PSBL ).
Dalam rangka
memberikan semangat dan motivasi terhadappemerintah kabupaten/kota untuk
mngatasi masalah sampah, maka Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyelenggarakan
Piala Adipura. Dengan fokus untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi " Kota bersih dan Teduh". Piala Adipura diberikan pada kota / kabupaten yang
memiliki karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan batas-batas wilayah
tertentu yang berhasil menggalakkan program kebersihan diwilayahnya terutama
kebersihan terhadap sampah. Keberhasilan
ini
adalah hasil kerjasama antara Pemerintah Kota dengan Masyarakatnya.
Indikator
penilaian dalam Piala Adipura adalah kondisi fisik lingkungan perkotaan
dalam hal kebersihan dan keteduhan serta pengelolaan lingkungan
perkotaan (non-fisik), yang meliputi institusi, manajemen dan daya
tanggap.
Namun bangsa
Indonesia seperti tidak dapat terlepas dari pengaruh KKN dalam penyelenggaraan
program kenegaraannya. Seperti yang dilaporkan Walhi ( Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia ) mengenai Pemberian Piala Adipura 2012, dimana sampai saat ini perlaksanaan
program piala adipura dinilai bersifat seremoni dan menghamburka uang. Seperti yang
disampaikan oleh Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan, Adanya permainan
dalam pemberian penghargaan, sudah bukan rahasia umum. Misalnya, saat tim
penilai turun ke lapangan, pasti akan ada entertain sehingga seolah-olah semua
bisa diatur. Apalagi dengan sistem sectoring, kemungkinan bisa diatur juga
besar.
Selain dampak negative diatas, hal lain
yang harusnya menjadi perhatian yaitu mengenai kriteria yang belum jelas dan tidak
memiliki reward and punishment serta empowerment, baik bagi yang berpredikat
terbersih maupun terkotor. Hal ini sama saja dengan penghargaan swasta yang
tidak ada efeknya, sehingga sering dimanfaatkan sebagai komoditas politik.
Sebagai contoh, Penghargaan Adipura tahun
2010 yang diberikan kepada Kota Bekasi, saat itu dipimpin Mochtar Mohammad
(MM), kota patriot itu meraih Piala Adipura sebagai kota terbersih. Tapi, dua tahun kemudian, tahun 2012, Kota Bekasi mendapat
"penghargaan" sebagai kota metropolitan terkotor se-Indonesia. "Penghargaan"
kota terkotor itu diterima setelah Wali Kota Bekasi dijabat oleh Rahmat Effendi
menggantikan MM. MM sendiri terjerat kasus korupsi, salah satunya dugaan suap
Piala Adipura 2010 sebesar Rp 400 juta.