Rabu, 15 Mei 2013

Teknologi dan alam



 

Dua hal yang mestinya saling terkait, teknologi dan alam, bisa bekerja sama harapannya seperti siklus perputaran terjadinya hujan; dari sumber lautan luas, uap air dibantu panas matahari, membentuk kristal-kristal bibit hujan di awan, dan pada saatnya akan turun hujan membasahi, mengairi sungai, danau dan lautan kembali. Begitu seterusnya, demikian juga yang diharapkan dengan teknologi dan alam.
Berbicara Teknologi yang penulis persempit lagi pada dunia Teknologi Informasi dan Telekomunikasi (IT), maka banyak didapat masalah juga peluang untuk membuat Teknologi tersebut menjadi ramah terhadap alam dan lingkungan.
Tulisan dibawah,meninjau dari sisi Produsen IT:

Sudut peluang yang terbaik demi harmonisasi
teknologi dan alam, dari pihak Produsen dapat memanfaatkan hal yang memang segera harus dilakukan, tidak semata untuk keuntungan bisnis tapi juga demi kelestarian alam. Memang masih banyak yang meragukan gerakan green computing yang digaungkan para produsen di bidang IT. Tetapi tidak dapat disamaratakan, antara produsen yang bermuslihat dagang dengan yang memang peduli dengan hal itu.
Meski belum optimal, dengan beragam faktor penunda, namun rintisan yang dilakukan untuk membuat produk yang lebih ramah lingkungan, layak dihargai.

Seperti contoh:
Produk yang bermaterial hasil daur ulang untuk beberapa jenis ponsel, tidak hanya bodi ponsel tersebut,tetapi juga mendayagunakan tenaga alam untuk menjalankan kinerjanya. Baterai dengan sumber daya liquid atau air tengah dikembangkan.
Produk yang dilengkapi dengan penangkap sinar matahari sumber energi semakin banyak beragam. Mulai dari baterai untuk gadget bertenaga matahari dengan aneka bentuk unik, hingga flash drive yang bisa menangkap sinar untuk sumberdaya LCD panelnya.

Untuk perangkat komputer, ramah pada alam lingkungan tak selalu diartikan sebagai wajib bermaterial daur ulang atau bersumber energi yang dapat diperbaharui. Saat ini konsep ramah lingkungan pada produk komputer dan periferal berada dalam tahapan bagaimana meminimalkan asupan energi atau sumber daya listrik, baik dengan menciptakan komponen baru atau membuat sistem yang lebih hemat daya.
Beberapa produk memang menggunakan bahan yang didaur ulang. Beberapa produsen juga mengeluarkan versi refurbished. Sayangnya untuk saat ini produk yang dikatakan lebih ramah lingkungan dan hemat listrik harganya masih lebih tinggi dibandingkan yang "standar".

Mahalnya
produk tersebut lebih dikarenakan karena imbas dari biaya riset untuk pengembangan teknologinya.
Berakibat akan timbul pertanyaan, apakah ramah pada alam,tidak ramah Produsen?
Kelihatannya memang sebagian besar metode untuk menjadi konsumen IT yang ramah lingkungan bertentangan dengan apa yang disarankan (diinginkan) oleh sebagian besar produsen IT, seperti : selalu perbaharui sistem operasi anda, gunakan aplikasi keamanan sebanyak-banyaknya atau juga jangan isi ulang cartridge tinta - karena semuanya akan mengurangi margin keuntungan produsen tersebut.
Tetapi jika memang para produsen tersebut betul-betul peduli lingkungan, mereka seharusnya memikirkan solusi lain. Misal dengan menciptakan sistem operasi yang lebih stabil dan lebih ringan dan lebih aman tanpa harus memaksa konsumen terus menerus meng-upgrade hardware sistemnya, atau menyediakan solusi isi ulang tinta yang resmi dari produsennya dan jika tidak mungkin menawarkan untuk menukarkan cartridge yang sudah kosong dengan tinta baru dengan harga lebih murah.
Sebagai konsumen, kita punya kekuatan. Produsen memang bisa mempengaruhi tetapi tidak bisa berbuat apa-apa dalam menentukan produk-produk apa yang akan dipilih konsumen. Para produsen hanya bisa mengikuti kemauan pasar.
Jadi, sebagai konsumen yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan, kenapa kita tidak memilih untuk menggunakan produk-produk yang lebih ramah lingkungan ?
Dengan demikian produsen juga mau tidak mau akan berinovasi untuk menghasilkan produk-produk yang lebih hijau dan alami.
Dan sangat optimis, jika banyak produsen makin sadar "hijau", dan produk ramah lingkungan kian banyak, akan berdampak pada penyesuaian harga. Dan semua lapisan konsumen dapat menikmatinya....
TERIMAKASIH ( HENDRI YUSUF SIREGAR )


Sabtu, 11 Mei 2013

KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)



Oleh: Parpen Siregar


  1. I. Pendahuluan
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu dari enam sub-spesies harimau yang masih tersisa di dunia. Kelima sub-spesies lainnya adalah Harimau Amur/Siberia (Panthera tigris altaica), Harimau Bengal/India (Panthera tigris tigris), Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti), Harimau China Selatan (Panthera tigris amoyensis), dan harimau Malaya (Panthera tigris jacksoni) (WWF, 2010). Harimau sumatera merupakan harimau terkecil dari keseluruhan  sub-spesies harimau, dengan panjang mencapai  2,5 meter dan berat 140 kilogram. Warna bulunya lebih gelap dari jenis harimau lainnya dan bervariasi dari warna kuning  kemerahan sampai oranye gelap dengan belang berwarna hitam.  Perburuan, konflik antara harimau dengan manusia, dan terfragmentasi dan perusakan habitat alami mereka, mengakibatkan penurunan populasi harimau sumatera secara signifikan. Oleh karena itu sejak tahun 1996 lembaga konservasi IUCN mengkategorikan harimau sumatera dsebagai satwa yang Sangat Kritis Terancam Punah (critically endangered) (Dephut, 2007). Selain itu harimau sumatera juga masuk dalam CITES Appendix I yang artinya perdagangan internasional komersial dilarang.
Keberadaan harimau sumatera saat ini menjadi sebuah polemik tersendiri karena mengakibatkan konflik antara manusia dan harimau. Rusaknya habitat alami harimau sumatera mengakibatkan satwa ini tersingkir dari habitat alaminya, sehingga menimbulkan gangguan terhadap manusia. Serangan harimau sumatera terhadap manusia dan hewan ternak telah sering terjadi. Serangan harimau sumatera yang menewaskan 3 ekor ternak sapi terjadi di Desa Talang Kebun Kecamatan Lubuk Sandi Kabupaten Seluma Propinsi Bengkulu (Kompas, 2008b). Sementara itu dalam kurun waktu dua tahun terakhir di Popinsi Sumatera Barat tercatat 26 kasus konflik harimau dengan manusia, sebanyak 16 kasus menghilangkan nyawa manusia dan sisanya memangsa ternak masyarakat (Kompas, 2008a).
Untuk mencegah gangguan harimau sumatera terhadap manusia dan mempertahankan kelestarian spesies tersebut, maka sangat diperlukan upaya konservasi terhadap harimau sumatera. Dengan demikian harimau sumatera dapat dipertahankan kelangsungannya dan terhindar dari kepunahan seperti yang telah dialami oleh harimau Bali (Panthera tigris balica) dan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica). Kedua harimau tersebut telah punah dalam 50 tahun terakhir. Harimau Bali dan Jawa terakhir kali diketahui keberadaannya pada akhir tahun 1930-an dan 1970-an.
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengidentifikasi degradasi habitat harimau sumatera dan memberikan alternatif solusi rehabilitasi harimau sumatera agar terjaga kelestariannya.
  1. II. Degradasi Habitat Harimau Sumatera
Seperti namanya, harimau Sumatera adalah satwa endemik Pulau Sumatera. Menurut data Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1994), pada tahun 1992 hanya terdapat sekitar 400 ekor harimau sumatera di lima taman nasional (TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, TN Way Kambas, TN Berbak, dan TN Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka margasatwa (Kerumutan dan Rimbang), sementara 100 ekor lainnya berada di luar kawasan konservasi. Namun jumlah tersebut diduga terus mengalami penurunan. Ancaman terbesar terhadap kelestarian harimau sumatera adalah degradasi habitat alaminya karena aktifitas manusia. Aktifitas manusia mengakibatkan semakin terfragmentasinya habitat harimau sumatera, padahal pada area yang sempit harimau sumatera sulit untuk hidup panjang. Hasil estimasi ekstrapolasi memperkirakan bahwa kepadatan populasi harimau sumatera di Tesso Nilo (1,3 individu per 100 km2), Rimbang Baling (0,7 individu per  100 km2), Suaka Margasatwa Kerumutan (2,3 individu per 100 km2)  (Hutajulu, 2003), Taman Nasional Bukit Barisan Lampung mencapai 1,6 individu per 100 km2 (O’Brien et al., 2003),  dan di Taman Nasional Way Kambas dengan kepadatan mencapai 4,3 individu per 100 km2 (Franklin et al., 1999). Lubis (2000) melaporkan rata-rata kepadatan harimau sumatera di Taman Nasional Batang Gadis adalah 1,1 individu per 100 km2, dengan perbandingan harima jantan dan betina 3 : 1. Berikut ini diuraikan penyebab degradasi habitat dan populasi harimau sumatera.
  1. 1. Deforestasi dan Degradasi.
Deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera yang sangat besar akan mengancam terhadap keanekaragaman hayati yang ada. Deforestasi dan degradasi akan menyebabkan hilangnya hutan atau terpotong-potongnya hutan menjadi bagian-bagian kecil dan terpisah. Alih fungsi hutan banyak digunakan untuk perkebunan, hutan tanaman industri, pemukiman, industri, dll. Investigasi Eyes on the Forest (2008) melaporkan bahwa pembuatan jalan logging oleh Asia Pulp & Paper (APP) sepanjang 45 km yang membelah hutan gambut di Senepis Propinsi Riau  mengakibatkan penyusutan luas hutan dan memicu peningkatan konflik manusia-harimau di kawasan tersebut. Perusakan habitat dan perburuan hewan mangsa telah diketahui sebagai faktor utama yang menyebabkan turunnya jumlah harimau secara dramatis di Asia (Seidensticker et al., 1999). Sementara itu Lynam et al. (2000) yang menyatakan bahwa harimau sangat tergantung pada tutupan vegetasi yang rapat, akses ke sumber air, dan hewan mangsa yang cukup.
  1. 2. Perburuan dan Perdagangan
Perburuan ilegal (illegal hunting) merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian harimau sumatera. Bagian tubuh harimau yang diperjualbelikan terutama kulit dan tulang untuk keperluan obat-obatan tradisional bahkan untuk keperluan supranatural. Mills and Jackson (1994) melaporkan pada periode 1970 – 1993 tercatat sebanyak 3.994 kg tulang harimau sumatera diekspor dari Indonesia ke Korea Selatan. Selain bagian tubuhnya, harimau sumatera juga diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan dan simbol status.
  1. 3. Konflik dengan Manusia
Tingginya pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan peningkatan kebutuhan akan lahan. Alih fungsi hutan untuk keperluan manusia menjadi tidak terhindarkan. Kehilangan habitat alaminya menimbulkan potensi konflik antara manusia dengan harimau sumatera. Konflik antara manusia-harimau merugikan kedua belah pihak; manusia rugi karena kehilangan hewan ternak bahkan nyawa sedangkan harimau rugi karena akan menjadi sasaran balas dendam manusia yang marah dan ingin membunuhnya. Sementara itu dalam kurun waktu dua tahun terakhir di Popinsi Sumatera Barat tercatat 26 kasus konflik harimau dengan manusia, sebanyak 16 kasus menghilangkan nyawa manusia dan sisanya memangsa ternak masyarakat (Kompas, 2008a). Lebih jauh Nythus and Tilson (2004) mencatat berturut-turut terdapat sebanyak 48, 36, dan 34 kali konflik antara manusia dan harimau sumatera di Propinsi Sumatera Barat, Riau, dan Aceh selama periode 1978 – 1997. Dalam kurun waktu tersebut tercatat sebanyak 146 orang meninggal dunia, 30 orang luka-luka, dan 870 ekor ternak terbunuh.
  1. 4. Kemiskinan
Kemiskinan masyarakat di sekitar hutan telah mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan berupa pembukaan hutan untuk keperluan pemukiman, perladangan, dan perkebunan. Kerusakan dan fragmentasi hutan yang merupakan habitat harimau akan mengakibatkan gangguan terhadap kelestarian harimau. Selain itu masyarakat juga menggantungkan hidup pada sumberdaya hutan. Secara tradisional masyarakat memburu satwa yang merupakan mangsa harimau untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kemiskinan mendorong masyarakat memburu satwa liar untuk kebutuhan makannya dan juga untuk dijual. Perburuan satwa liar yang merupakan mangsa harimau sumatera sangat berpengaruh terhadap kelestarian harimau sumatera. Karena harimau sumatera sangat tergantung dengan kelimpahan mangsanya.
  1. 5. Berkurangnya Mangsa
Dalam struktur piramida makanan, harimau merupakan top predator. Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5 – 6 kg daging yang sebagian besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa (Sunquist et al., 1999).  Pakan utama harimau sumatera adalah rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan (Sus scorfa) (Wibisono, 2006). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai alternatif mangsa seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil (Tragulus sp), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus), dan kuau raja (Argusianus argus). Sriyanto dan Rustiati (1997) secara jelas menunjukkan adanya hubungan positif antara penyusutan mangsa dengan populasi harimau. Tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan juga akan mengakibatkan penurunan mangsa harimau sumatera. Semakin sedikitnya mangsa juga akan mengakibatkan penurunan populasi harimau sumatera.
III. Upaya Konservasi Harimau Sumatera
Payung hukum kegiatan konservasi di Indonesia telah tertuang dan dilindungi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi harimau sumatera awalnya bermana Sumatra Tiger Project (STP) telah dimulai tahun 1995 di Taman Nasional Way Kambas Propinsi Lampung. Saat ini kegiatan yang bernama Program Konservasi Harimau Sumatera, juga dikembangkan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Propinsi Jambi dan Riau dan Kawasan Konservasi Harimau Senepis Buluhala Propinsi Riau. Upaya konservasi harimau sumatera sebenarnya bukan semata hanya bertujuan untuk menjaga kelestarian harimau sumatera saja, tetapi juga melindungi spesies lainnya. Karena harimau sumatera merupakan species payung (umbrella species) yang artinya dengan melindungi spesies ini secara tidak langsung juga melindungi spesies lainnya yang hidup di habitat yang sama.
Upaya konservasi harimau sumatera bertujuan untuk mempertahankan kelestarian harimau sumatera. Beberapa upaya tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Memulihkan dan meningkatkan populasi harimau sumatera beserta bentang alamnya pulih. Upaya konservasi in-situ merupakan program utama konservasi harimau sumatera dengan memulihkan populasi harimau dan habitat alaminya. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain adalah :
-          Membangun dan meningkatkan koneksitas antara habitat-habitat utama harimau sumatera melalui pengembangan koridor dalam rangka memperluas daerah bagi harimau sumatera untuk menjelajah. Karena harimau sumatera memerlukan teritori (wilayah) yang luas untuk mendapatkan mengsa yang cukup. Semua potensi habitat dan sebaran harimau sumatera perlu dimasukkan sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses perencanaan zonasi taman nasional (Lubis, 2000).
-          Membina kekayaan genetik unit-unit populasi harimau sumatera, terutama pada habitat yang kritis untuk menghindari erosi ragam genetik melalui pengembangan restocking populasi dan translokasi.
-          Mengembangkan upaya pengelolaan mitigasi konflik untuk menyelamatkan harimau yang bermasalah dengan relokasi, translokasi, dan penetapan kawasan pelepasliaran alami.
-          Meningkatkan program pemantauan terhadap populasi, ekologi, dan habitat harimau sumatera dengan memperkuat dasar hukum dan kapasitas aparatur yang berwenang.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah ukuran populasi secara biologis dan ekologis harimau sumatera dalam jumlah ideal dan habitat serta daerah jelajah harimau sumatera tidak berkurang, bahkan diharapkan dapat bertambah.
  1. Meningkatkan infrastuktur dan kapasitas instansi terkait dalam pemantauan dan evaluasi terhadap upaya konservasi harimau sumatera dan satwa mangsanya. Kegiatan yang dilakukan adalah :
-          Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dengan melaksanakan berbagai program peningkatan kapasitas tim konservasi harimau sumatera baik yang dikelola oleh pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun masyarakat.
-          Memperkuat infrastrukur instansi yang melakukan pelaksanaan dan pemantauan konservasi harimau. Selain itu juga dilakukan penyusunan rencana pengelolaan konservasi pada setiap bentang alam harimau sumatera sesuai dengan karakteristik dan potensi di lapangan.
-          Mengembangkan pusat informasi terpadu tentang konservasi harimau sumatera yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah terlaksananya pemantauan kinerja konservasi harimau sumatera secara efektif oleh Kementrian Kehutanan selaku penanggung jawab utam beserta mitra kerjanya.
  1. Membangun jejaring kerja dan infrastruktur komunikasi dan menciptakan kelompok masyarakat yang peduli dan bertanggung jawab terhadap kelestarian harimau sumatera. Konservasi harimau sumatera adalah tanggung jawab semua pihak. Oleh karena itu harus dijalin jejaring kerja dan komunikasi yang baik diantara semua pihak. Kegiatan yang dilakukan adalah :
-          Membangun jaringan komunikasi dan kemitraan untuk meningkatkan kerjasama konservasi di semua tingkatan baik lokal, nasional, maupun internasional.
-          Mengembangkan pengawasan terpadu dan intensif antara pemerintah, lembaga non pemerintah, dan masyarakat terhadap kegiatan konservasi. Selain itu juga dilakukan pendidikan dan penyadartahuan masyarakat secara terpadu dan berkesinambungan tentang pentingnya konservasi harimau sumatera.
-          Membangun mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dalam mendukung kegiatan konservasi harimau sumatera.
Indikator kebersasilannya adalaha terbangunnya komunitas konservasi harimau sumatera di Indonesia yang berjalan dengan baik dan dapat berafiliasi dan membangun jaringan (networking) dengan jaringan konservasi harimau internasional.
  1. Membangun program konservasi ex-situ yang bermanfaat dan selaras dengan upaya kelestarian harimau sumatera di alam. Konservasi ex-situ merupakan salah satu alternatif untuk menjaga kelestarian harimau sumatera. Saat ini terdapat 371 ekor harimau sumatera di penangkaran baik di dalam maupun di luar negeri (Dephut, 2007). Namun diperlukan regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil penangkaran harimau sumatera. Perlu dirumuskan standar-standar konservasi ex-situ agar sesuai dengan standar etika dan kesejahteraan bagi harimau sumatera. Selain itu kajian skema conservation/breeding loan dapat dikembangkan dan reintroduksi harimau sumatera dapat dilaksanakan dengan efektif.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah  konservasi harimau sumatera di luar kawasan konservasi mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak dan program konservasi ex-situ harimau sumatera dapat mendukung konservasi in-situ secara efektif.
IV. Simpulan
Manusia sebagai mandate cultural haruslah memelihara bumi dan memanfaatkan sumberdaya dan daya dukungnya secara bertanggung jawab. Terancamnya kelestarian harimau sumatera tidak lepas dari tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu upaya konservasi harimau sumatera mendesak untuk segera dilakukan dengan konsisten dan didukung seluruh stake holder dengan merasa memiliki dan membantu upaya pelaksanaan konservasi.
Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) 2010 – 2017. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Direktorat Perlidungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1994. Strategi Konservasi Harimau Sumatera. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Eyes on the Forest. 2008. Laporan Investigasi Eyes on The Forest : Asian Pulp & Paper Mengancam Hutan Senepis, Habitat Harimau Sumatra, serta Iklim Global. www.eyesontheforest.or.id (Diakses 02 Juni 2010).
Franklin, N., Bastoni, S., Siswomartono, D., Manansang, J., and Tilson, R. 1999.Last of the Indonesian tigers: a cause for optimism. In Siedensticker, J., Christie, S. & Jackson, P. (eds). Riding the tiger: Tiger conservation in human dominated landscapes. Cambridge University Press. Cambridge.
Hutajulu, M.B. 2007. Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatra [Panthera tigris sumatrae (Pecock, 1929)] Berdasarkan Camera Trap di Lansekap Tesso Nilo – Bukit Tiga Puluh, Riau. Tesis Program Pasca Sarjana Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia (Tidak Dipublikasikan).
Kompas. 2008a. Terkam Orang, Harimau Sumatera Diburu. Harian Kompas Edisi 31 Januari 2008.
Kompas. 2008b. Harimau Mengganas di Bengkulu, Memangsa Tiga Sapi. Harian Kompas Edisi 20 Februari 2008.
Lubis, A.F. 2009. Penyebaran Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) Sebagai Salah Satu Pertimbangan Dalam Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatra Utara. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara (Tidak Dipublikasikan).
Lynam, A.J., T. Palasuwan, J. Ray, and S. Galster. 2000. Tiger Survey Techniques and Conservation Handbook. Wildlife Conservation Society-Thailand Program. Bangkok.
Mills, J. A., and P. Jackson. 1994. Killed for a Cure: A Review of the Worldwide Trade in Tiger Bone. TRAFFIC International.Cambridge, UK.
Nyhus, P. J., and R. Tilson. 2004. Characterizing Human-Tiger Conflict in Sumatra, Indonesia: Implications for Conservation. Oryx 38(1) : 68-74.
O’Brien, T. G., Kinnaird, M. F., and Wibisono, H. T. 2003. Crouching Tiger, Hidden Prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131-139.
Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson. 1999. Preface. In: Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
Sriyanto dan Rustiati, E.L. 1997. Hewan mangsa potensial harimau Sumatra di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Dalam: Tilson, R., Sriyanto, E.L. Rustiati, Bastoni, M. Yunus, Sumianto, Apriawan, dan N. Franklin  (ed.). Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra: Langkah-langkah konservasi dan Manajemen In-situ dalam Penyelamatan Harimau Sumatra. LIPI. Jakarta.
Sunquist, M.E, K.U. Karanth, and F.C. Sunquist. 1999. Ecology, behaviour and resilience of the tiger and its conservation needs. In: Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.). Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419).
Wibisono, H. T. 2006. Population Ecology of Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae) and Their Prey in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Thesis Master. The Department of Natural Resources Conservation, University of Massachusetts, Amherst, MA, USA.
WWF. 2010. Tiger Facts. www.wwf.or.id/savesumatra (Diakses 01 Juni 2010)

JURNAL :DEGRADASI LAHAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEMISKINAN

Oleh: Parpen Siregar


  1. I. Pendahuluan
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang menjadi andalan dalam aktivitas sosial ekonomi masyarakat terutama di negara berkembang. Namun sumberdaya lahan bukanlah sumberdaya yang lestari. Sumberdaya lahan mengalami perubahan baik karena proses alami maupun aktivitas manusia. Perubahan karena proses alami disebabkan oleh perubahan permukaan bumi akibat berlangsungnya geomorfologis. Proses geomorfologis yang berlangsung akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi fisikal permukaan bumi. Proses geomorfologis mengakibatkan turunnya kualitas dan daya dukung lahan yang selanjutnya akan menyebabkan degdarasi lahan. Sementara itu degradasi lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia terjadi akibat akibat pemanfaatan lingkungan oleh manusia yang tidak memerhatikan keseimbangan lingkungan. Barrow (1991) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. kehilangan atau perubahan kenampakkan tersebut menyebabkan fungsinya tidak dapat diganti oleh yang lain.
Degradasi lahan kini saat ini meningkat pesat dan meluas, sehingga menjadi salah satu permasalahan dunia yang sangat serius. Menurut sebuah laporan baru yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia PBB (FAO), United Nations Environment Programme dan World Soil Information (ISRIC) menyatakan bahwa lebih dari 20 % dari seluruh area budidaya, 30 % hutan dan 10 % padang rumput sedang memburuk. Sekitar 22 % lahan yang terdegradasi berada di wilayah arid, sementara 78 % berada di wilayah humid (FAO, 2008).
Degradasi lahan juga menjadi salah satu permasalahan di Indonesia. Berdasarkan statistik kehutanan, luas hutan Indonesia telah menyusut dari 130,1 juta ha (67,7 % dari luas daratan) pada tahun 1993 menjadi 123,4 juta ha (64,2 % dari luas daratan) pada tahun 2001. Penyusutan ini disebabkan oleh penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman. Sekitar 35 % dari hutan produksi tetap seluas 35 juta ha juga rusak berat. Hutan yang dapat dikonversi kini tinggal 16,65 juta ha. Apabila dengan laju konversi tetap seperti saat ini maka dalam waktu 25 tahun areal hutan konversi akan habis. Saat ini laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta hektar per tahun (Dephut, 2009).
Sementara itu BPLDH Jawa Barat (2003) melaporkan terjadinya peningkatan kerusakan hutan baik hutan pegunungan maupun hutan pantai. Selama periode 1994-2000 telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung di Propinsi Jawa Barat sekitar 12,9 %. Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan  hutan dan kawasan resapan air. Pada kurun waktu tersebut terjadi pengurangan hutan lindung berkurang sekitar 106.851 ha (24 %), sementara hutan produksi berkurang sekitar 130.589 ha (31 %). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165 903 ha (17 %). Wilayah hutan yang sebelumnya 791.571 ha (22 % dari daratan Jawa Barat) ternyata penutupan vegetasi hutannya tinggal 9 % atau sekitar 323.802 ha pada tahun 2000. Hutan mangrove telah mengalami kerusakan berat akibat konversi menjadi area pertambakan, permukiman, pertanian, industri dan pariwisata. Kondisi ini diikuti dengan bertambahnya luas lahan kritis.  Dampak lanjutan dari kerusakan ini adalah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi.
Degradasi lahan akan berdampak baik bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Degradasi lahan akan mengakibatkan penurunan produktivitas, migrasi, ketidakamanan pangan, bahaya bagi sumberdaya dan ekosistem dasar, serta kehilangan biodiversitas melalui perubahan habitat baik pada tingkat spesies maupun genetika. Selain itu degradasi lahan akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan sebagai sumber penghidupannya berupa meningkatnya angka kemiskinan. FAO memperkirakan bahwa 1,5 miliar penduduk, atau sekitar seperempat dari populasi dunia, secara langsung  bergantung pada lahan yang kini sedang terdegradasi (FAO, 2008).
Tujuan penulisan ini adalah untuk mempelajari hubungan antara degradasi lahan dengan kemiskinan masyarakat.
  1. II. Penyebab Degradasi Lahan
Degradasi lahan secara umum disebabkan oleh proses alami dan akibat aktivitas manusia. Barrow (1991) secara lebih rinci menyatakan bahwa faktor-faktor utama penyebab degradasi lahan adalah: (1) bahaya alami, (2) perubahan jumlah populasi manusia, (3) marjinalisasi tanah, (4) kemiskinan, (5) status kepemilikan tanah, (6) ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, (7) kondisi sosial ekonomi, (8) masalah kesehatan, (9) praktek pertanian yang tidak tepat, dan (10) aktifitas pertambangan dan industri. Degradasi lahan disebabkan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik. kimia dan biologi. Degradasi secara fisik terdiri dari pemadatan, pengerakan, ketidakseimbangan air, terhalangnya aerasi, aliran permukaan, dan erosi. Degradasi kimiawi terdiri dari asidifikasi, pengurasan unsur hara, pencucian, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, salinisasi, dan alkalinisasi. Sedangkan degradasi biologis meliputi penurunan karbon organik tanah, penurunan keanekaragaman hayati tanah, dan penurunan karbon biomas. Selengkapnya skema degradasi lahan disajikan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Skema Degradasi Lahan
Bentuk degradasi lahan dapat berupa kerusakan ekosistem laut, lahan kritis, dan kerusakan hutan. Rusaknya ekosistem laut terjadi karena bentuk eksploitasi hasil-hasil laut secara besar-besaran, misalnya menangkap ikan dengan menggunakan jala pukat, penggunaan bom, atau menggunakan racun untuk menangkap ikan atau terumbu karang. Rusaknya terumbu karang berarti rusaknya habitat ikan, sehingga kekayaan ikan dan hewan laut lain di suatu daerah dapat berkurang.
Lahan kritis adalah lahan yang mengalami penurunan produktivitas atau kehilangan fungsi secara fisik, kimia, hidrologi dan sosial ekonomi sebagai akibat dari salah penggunaan dan atau salah pengelolaan (Karmellia, 2006). Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi hidrologi tanah berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan  tanah untuk menahan, menyerap dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidrologi berkaitan dengan berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari ketiga kemampuannya tadi. Lahan kritis secara sosial ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi misalnya sengketa pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar.
Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang bisa terjadi di dalam hutan dan di luar hutan. Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Kriteria lahan kritis adalah : (1) lahan kosong tidak produktif, (2) lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm, (3) lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi, (4) lahan kosong dan kemiringan di atas 15 %, (5) lahan dengan penutupan vegetasi di bawah 25 %, (6) lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan, (7) lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20 meter, dan (8) lahan rawan bencana.
Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian.  Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai  berdasakan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum opsional pada pengelolaan tradisional, kelerengan lahan, tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal, batu-batuan dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan (Dariah, 2007).
Kondisi lahan kritis secara umum dapat diketahui dari kondisi lahan kritis per kapita. Meluasnya lahan kritis per kapita disebabkan oleh perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan non pertanian. Dariah (2007) melaporkan bahwa ternyata pertambangan dan penggalian memiliki tingkat signifikansi yang paling tinggi dalam peningkatan lahan kritis per kapita. Maraknya penggalian galian tipe C di kaki-kaki gunung, seperti di kaki Gunung Tampomas Kabupaten Sumedang tepatnya di Kecamatan Cimalaka, Paseh dan Conggeang, kaki Gunung  Ciremai Kabupaten Majalengka, kaki Gunung Masigit Kabupaten Bandung, Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon, Cipamingkis Kabupaten Bogor, Warungkondang di Kabupaten Cianjur dan Cimangkok di Kabupaten Sukabumi  merupakan bukti meluasnya lahan kritis per kapita.
Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah  mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Dengan demikian masalah lahan kritis masyarakat terjadi karena pola pemanfaatan yang tidak tepat yakni kurang memperhatikan daya dukung dan  kesesuaian lahan, yang disebabkan karena aspek ekonomi yakni kemiskinan dan kekurangpahaman terhadap teknik konservasi.
Degdarasi lahan berkaitan dengan degradasi tanah untuk memproduksi biomassa yang disebabkan oleh tindakan pengelolaan tanah yang semena-mena, penggunaan pupuk kima yang berlebihan, dan penggunaan pestisida dan herbisida yang terus-menerus dengan dosis yang melebihi takaran. Siradz (2006) melaporkan bahwa parameter ketebalan solum, kebatuan pada permukaan, populasi mikrobia, dan potensial redoks pada lokasi persawahan di Yogyakarta masih memenuhi baku mutu. Namun meskipun memenuhi baku mutu, parameter pH dan haya hantar listrik mengalami kenaikan yang signifikan bila dibandingkan dengan lahan non sawah. Sebaliknya parameter berat isi, porositas, dan permeabelitas telah berada di atas ambang kritis.
Lahan yang kritis akan berdampak pada menurunnya produktivitas lahan sehingga perolehan output akan rendah. Lahan kritis dapat terjadi karena praktik ladang berpindah ataupun karena eksploitasi penambangan yang besar-besaran. Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun berhubungan positif dengan lahan kritis per kapita, bahwa memburuknya kondisi sosial ekonomi akan berdampak pada meningkatnya lahan kritis per kapita. Dariah (2007) melaporkan bahwa lahan kritis per kapita lebih ditentukan oleh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan karena tekanan jumlah penduduk dan pengangguran. Upaya rehabilitasi lahan kritis sebaiknya menjadi agenda prioritas dengan sasaran memperbaiki kondisi lahan, meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penanaman tanaman yang cocok dengan karakteristik lahan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu upaya pemulihan lahan kritis seyogianya diarahkan untuk memperbaiki kondisi lahan dan meningkatkan produktivitas lahan serta  meningkatkan pendapatan masyarakat. Implementasi rehabilitasi lahan kritis sebaiknya diikuti oleh pembangunan ekonomi perdesaan yang mengarah pada diversifikasi dan nilai tambah produk pertanian sehingga tercipta lapangan kerja diluar sektor pertanian di perdesaan.
Sementara itu kerusakan hutan pada umumnya terjadi karena ulah manusia, antara lain, karena penebangan pohon secara besar-besaran, kebakaran hutan, dan praktik peladangan berpindah. Kerusakan hutan disebabkan oleh perorangan, kelompok masyarakat, ataupun oleh korporasi.  Pengusahaan hutan oleh korporasi dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri. Kebijakan HTI yang diberikan oleh pemerintah melegitimasi dan mendorong kerusakan hutan alam yang lebih masif. Tidak adanya institusi penatagunaan hutan yang baik, yang disebabkan lemahnya kebijakan penggunaan lahan nasional dan aspek-aspek politik ekonomi, telah menyebabkan pelaksanaan pembangunan HTI dan perkebunan telah secara nyata menimbulkan masalah sosial yang berkaitan dengan penggunaan lahan. Salah satu aspek politik ekonomi yang mendorong degradasi hutan alam adalah adanya kenyataan diversifikasi usaha HPH berupa usaha HTI dan perkebunan, sehingga ketika HPH menyisakan hutan yang rusak, maka HTI dan/atau perkebunan mendapat legalitas untuk menempati lokasi hutan yang rusak (Kartodiharjo dan Supriono, 2000). Kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan, misalnya punahnya habitat hewan dan tumbuhan, keringnya mata air, serta dapat menimbulkan bahaya banjir dan tanah longsor.
III. Hubungan Degradasi Lahan dengan Kemiskinan
Degradasi lahan sangat berkaitan erat dengan lahan, penduduk, kemiskinan dan demikian pula sebaliknya. Ketersediaan lahan yang terbatas yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan terjadinya kekurangan lahan. Hal ini diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak lestari sehingga menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan. Demikian pula sebaliknya, kemiskinan juga dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Dengan demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari degradasi lahan. Selengkapnya hubungan tersebut disajikan pada gambar di bawah ini.



Gambar 2. Hubungan antara Lahan, Penduduk, Kemiskinan, dan Degradasi Lahan (Munawar, 2010)
Simulasi historis terbukti bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Luas lahan kritis per kapita  memberikan dampak buruk yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan pencemaran air dan  udara karena karakteristik kerusakan menyangkut gangguan keseimbangan ekosistem (Dariah, 2007).
Dariah (2007) juga melaporkan kenaikan PDRB belum dapat menurunkan lahan kritis per kapita. Elaborasi terhadap variabel lainnya menunjukan bahwa fakta tersebut tidak lepas dari pengaruh membaiknya tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan. Artinya, ekonomi tumbuh saja belum cukup dapat menurunkan lahan kritis per kapita. Penurunan lahan kritis per kapita lebih didorong oleh turunnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Jika ekonomi tumbuh tinggi namun berdampak kecil terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi maka ada kecenderungan lahan per kapita tetap meningkat. Atau kondisi lain ketika pertumbuhan penduduk begitu tingginya sehingga tingkat kemiskinan meningkat dikhawatirkan pula akan mendorong peningkatan lahan kritis per kapita
Rifardi (2008) melaporkan bahwa aktivitas sosial ekonomi baik dalam skala kecil (masyarakat) maupun skala besar (industri) telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis berupa degradasi hutan dan lahan di kawasan Semenanjung Kampar. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan berikut lahan yang ada di Semenanjung Kampar Propinsi Riau mencapai 73 %. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan  karena hutan tersebut dibuka untuk lahan-lahan pertanian. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas sosial ekonomi mengakibatkan peningkatan ketergantungan terhadap hutan-lahan
IV. Penutup
Upaya penanggulangan degradasi lahan dengan mempertahankan lahan memerlukan kesadaran politik, karena dengan penanggulangan degradasi lahan merupakan entry point untuk pengentasan kemiskinan dan perlindungan ekosistem. Pembuat kebijakan dan institusi baik pada tingkat lokal, regional, dan nasional harus berkerja sama dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya kelestarian dan ketahanan sumberdaya lahan. Dengan mempertahankan sumberdaya lahan, maka kehidupan manusia dapat diperbaiki dan masa depan dunia dapat diselamatkan. Oleh karena itu ”Melindungi Lahan Sama dengan Menjaga Masa Depan Kita Bersama”.
Referensi

Barrow, C.J. 1991. Land Degradation. Development and Breakdown of Terrestrial Environments. Cambridge University Press. Cambridge.
BPLHD Jabar. 2003. Laporan Status Lingkungan. http//www.bplhd-jabar.go.id.
Dariah, A.R. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan).
Departemen Kehutanan. 2009. Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia Tanggal 17 Juni 2009. http://www.dephut.go.id.
Departemen Kehutanan. 2000. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. http://www.dephut.go.id.
FAO. 2008. FAO : Degradasi Lahan Meningkat. http://www.fao.org .
Karmellia, R. 2006. Rehabilitasi Lahan Kritis dengan Pendekatan Ekobisnis di Kabupaten Bogor. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Munawar, A. 2010. Bahan Kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat. Program Pasac Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Bengkulu.
Kartodiharjo, H. dan Supriono, A. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam : Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Occasional Paper CIFOR 26(1) : 1 – 14.
Rifardi. 2008. Degradasi Ekologi Sumberdaya Hutan dan Lahan (Studi Kasus Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar Propinsi Riau). Jurnal Bumi Lestari 8(2) : 145 – 154.
Siradz, S.A. 2006. Degradasi Lahan Persawahan Akibat Produksi Biomassa di Jogjakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan (6(1) : 47 – 51.

Jumat, 10 Mei 2013

DESALINASI AIR LAUT



DESALINASI AIR LAUT MENJAWAB KRISIS AIR BERSIH DAERAH PESISIR

Niken Hermayanti
Abstrak

Tujuan dari artikel telaah pustaka ini adalah Pemenuhan kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan air bersih. Maksudnya adalah untuk mencukupi kebutuhan akan air bersih sebagai bagian dari kebutuhan dasar setiap manusia dan pengenalan teknologi pengolahan air asin/payau.  Metode yang digunakan dalam artikel telaah pustaka ini adalah metode pengambilan data sekunder. Untuk menghasilkan air bersih dari air laut ini dibutuhkan energi listrik sebesar 4,72 kilowatt jam per meter kubik. Sekarang ini rata-rata listrik per kilowatt jam mencapai harga Rp 1.000. Produksi air bersih dari proses desalinasi bisa bersaing dengan tarif air bersih kelas komersial yang mencapai Rp 12.500 per meter kubik. Bahkan, tarif air bersih industri mencapai Rp 15.000 per meter kubik. Nilai produksi air bersih dengan teknologi desalinasi yang dikembangkan sekarang mampu menekan harga hingga Rp 9.000 per meter kubik. Dengan desalinasi, air laut atau air payau yang diproses dengan reverse osmosis diubah menjadi air bersih sehingga dapat menjawab masalah krisis ketersediaan air bersih bagi masyarakat pesisir. Dengan memanfaatkan air laut sebagai air bersih dapat mencegah terjadinya penurunan tanah yang sewaktu – waktu dapat terjadi jika kita terus - menerus menggunakan air tanah.
Kata Kunci : Desalinasi, Distilasi, Osmosis Terbalik.
I.                   Pendahuluan
Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Sumber air tersebut ada yang diperoleh dari air tanah, mata air air sungai, danau dan air laut. Sumber air di bumi tersebut berasal dari suatu siklus air dimana tenaga matahari merupakan sumber panas yang mampu menguapkan air. Air baik yang berada di darat maupun laut akan menguap oleh panas matahari. Uap kemudian naik berkumpul menjadi awan. Awan mengalami kondensasi dan pendinginan akan membentuk titik-titik air dan akhirnya akan menjadi hujan. Air hujan jatuh kebumi sebagian meresap kedalam tanah menjadi air tanah dan mata air, sebagian mengalir melalui saluran yang disebut air sungai, sebagian lagi terkumpul dalam danau/rawa dan sebagian lagi kembali ke laut.
Meskipun Bumi 75% terdiri dari air, tapi hanya kurang dari 1% yang benar merupakan air yang siap digunakan. Krisis air bersih sudah melanda diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki luas wilayah 5.193.252 km2 dua per tiga luas wilayahnya merupakan lautan, yaitu sekitar 3.288.683 km2. Sehingga Indonesia juga memiliki julukan sebagai benua maritim. Ironinya di tengah kepungan air laut itu ternyata masih ada beberapa tempat yang mengalami kekurangan air, terutama mengenai ketersedian air bersih. Akibatnya, di tempat seperti itu air menjadi barang eksklusif. Masyarakatnya harus membeli untuk mendapatkan air bersih (Anonymous, 2008).
Laju konsumsi air bersih di dunia meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun, melebihi dua kali laju pertumbuhan manusia. Beberapa pihak memperhitungkan bahwa pada tahun 2025, permintaan air bersih akan melebihi persediaan hingga mencapai 56%. Kekurangan air bersih dapat berpengaruh terhadap banyak hal, di antaranya dapat mengurangi pembangunan ekonomi dan menurunkan tingkat kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa dunia membutuhkan suatu cara untuk meningkatkan persediaan air bersih. Salah satu sumber yang berpotensi dijadikan sumber air bersih adalah air laut. Air laut dapat dijadikan air bersih dengan proses desalinasi (Shofnita, 2009).
II.                Isi Tulisan
Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya merupakan air dengan kandungan garam terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan untuk keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil sampingan dari proses desalinasi adalah brine. Brine adalah larutan garam berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35000 mg/l garam terlarut).
Distilasi merupakan metode desalinasi yang paling lama dan paling umum digunakan. Distilasi adalah metode pemisahan dengan cara memanaskan air laut untuk menghasilkan uap air, yang selanjutnya dikondensasi untuk menghasilkan air bersih. Berbagai macam proses distilasi yang umum digunakan, seperti multistage flash, multiple effect distillation, dan vapor compression umumnya menggunakan prinsip mengurangi tekanan uap dari air agar pendidihan dapat terjadi pada temperatur yang lebih rendah, tanpa menggunakan panas tambahan.
Metode lain desalinasi adalah dengan menggunakan membran. Terdapat dua tipe membran yang dapat digunakan untuk proses desalinasi, yaitu reverse osmosis (RO) dan electrodialysis (ED). Pada proses desalinasi menggunakan membran RO, air pada larutan garam dipisahkan dari garam terlarutnya dengan mengalirkannya melalui membran water-permeable. Permeate dapat mengalir melalui membran akibat adanya perbedaan tekanan yang diciptakan antara umpan bertekanan dan produk, yang memiliki tekanan dekat dengan tekanan atmosfer. Sisa umpan selanjutnya akan terus mengalir melalui sisi reaktor bertekanan sebagai brine. Proses ini tidak melalui tahap pemanasan ataupun perubahan fasa. Kebutuhan energi utama adalah untuk memberi tekanan pada air umpan. Desalinasi air payau membutuhkan tekanan operasi berkisar antara 250 hingga 400 psi, sedangkan desalinasi air laut memiliki kisaran tekanan operasi antara 800 hingga 1000 psi.
Dalam praktiknya, umpan dipompa ke dalam container tertutup, pada membran, untuk meningkatkan tekanan. Saat produk berupa air bersih dapat mengalir melalui membran, sisa umpan dan larutan brine menjadi semakin terkonsentrasi. Untuk mengurangi konsentrasi garam terlarut pada larutan sisa, sebagian larutan terkonsentrasi ini diambil dari container untuk mencegah konsentrasi garam terus meningkat.
Reverse osmosis (Osmosis terbalik) adalah sebuah istilah teknologi yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalam sel hidup di mana molekul "solvent" (biasanya air) akan mengalir dari daerah berkonsentrasi rendah ke daerah Berkonsentrasi tinggi melalui sebuah membran semipermeabel. Membran semipermeabel ini menunjuk ke membran sel atau membran apa pun yang memiliki struktur yang mirip atau bagian dari membran sel. Gerakan dari "solvent" berlanjut sampai sebuah konsentrasi yang seimbang tercapai di kedua sisi membran.
Reverse osmosis adalah sebuah proses pemaksaan sebuah solvent dari sebuah daerah konsentrasi "solute" tinggi melalui sebuah membran ke sebuah daerah "solute" rendah dengan menggunakan sebuah tekanan melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah mendorong sebuah solusi melalui filter yang menangkap "solute" dari satu sisi dan membiarkan pendapatan "solvent" murni dari sisi satunya.
Reverse osmosis merupakan suatu metode pembersihan melalui membran semi permeable. Pada proses membran, pemisahan air dari pengotornya didasarkan pada proses penyaringan dengan skala molekul, dimana suatu tekanan tinggi diberikan melampaui tarikan osmosis sehingga akan memaksa air melalui proses osmosis terbalik dari bagian yang memiliki kepekatan tinggi ke bagian yang mempunyai kepekatan rendah. Selama proses tersebut terjadi, kotoran dan bahan yang berbahaya akan dibuang sebagai air tercemar (limbah). Molekul air dan bahan mikro yang berukuran lebih kecil dari Reverse Osmosis akan tersaring melalui membran. Di dalam membran Reverse Osmosis tersebut terjadi proses penyaringan dengan ukuran molekul, yakni partikel yang molekulnya lebih besar daripada molekul air misalnya molekul garam, besi dan lainnya, akan terpisah dan dalam membran osmosis balik harus mempunyai persyaratan tertentu, misalnya kekeruhan harus nol, kadar besi harus <0,1>.
Instalasi desalinasi dengan metode reverse osmosis di Barcelona
Sistem RO terdiri dari 4 proses utama, yaitu (1) pretreatment, (2) pressurization, (3) membrane separation, (4) post teatment stabilization:
Desalinasi dengan RO
1.      Pretreatment: Air umpan pada tahap pretreatment disesuaikan dengan membran dengan cara memisahkan padatan tersuspensi, menyesuaikan pH, dan menambahkan inhibitor untuk mengontrol scaling yang dapat disebabkan oleh senyawa tetentu, seperti kalsium sulfat.
2.      Pressurization: Pompa akan meningkatkan tekanan dari umpan yang sudah melalui proses pretreatment hingga tekanan operasi yang sesuai dengan membran dan salinitas air umpan.
3.      Separation: Membran permeable akan menghalangi aliran garam terlarut, sementara membran akan memperbolehkan air produk terdesalinasi melewatinya. Efek permeabilitas membran ini akan menyebabkan terdapatnya dua aliran, yaitu aliran produk air bersih, dan aliran brine terkonsentrasi. Karena tidak ada membran yang sempurna pada proses pemisahan ini, sedikit garam dapat mengalir melewati membran dan tersisa pada air produk. Membran RO memiliki berbagai jenis konfigurasi, antara lain spiral wound dan hollow fine fiber membranes.
Tipe membran RO
4.      Post Teatment Stabilization: Air produk hasil pemisahan dengan membran biasanya membutuhkan penyesuaian pH sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat digunakan sebagai air minum. Produk mengalir melalui kolom aerasi dimana pH akan ditingkatkan dari sekitar 5 hingga mendekati 7 (Shofnita, 2009).
Sistem pretreatment yang mendukung sistem RO umumnya terdiri dari tangki pencampur (mixing tank), saringan pasir cepat (rapid sand filter), saringan untuk besi dan mangan (Iron & manganese filter) dan yang terakhir adalah sistem penghilang warna (colour removal).
Tabel 1. Pandual Kualitas Air Hasil Pengolahan Sistem RO
Sumber: Herlambang
Keunggulan teknologi osmosis terbalik merupakan kecepatan proses pengolahan dalam memproduksi air bersih. Teknologi ini menggunakan tenaga pompa sehingga bisa memaksa produksi air keluar lebih banyak. Secara proses, sistem pengolahan osmosis ini menggunakan membran sebagai pemisah air dengan pengotornya. Pada proses dengan membran, pemisahan air dari pengotornya didasarkan pada proses penyaringan dengan skala molekul. Hal ini dilakukan karena di dalam proses desalinasi air laut dengan sistem osmosis balik, tidak memungkinkan untuk memisahkan seluruh garam dari air lautnya. Karena akan membutuhkan tekanan yang sangat tinggi sekali (Anonymous, 2009).
Untuk menghasilkan air tawar, air asin atau air laut dipompa dengan tekanan tinggi ke dalam suatu modul membran osmosis balik yang mempunyai dua buah pipa keluaran, yakni pipa keluaran untuk air tawar yang dihasilkan dan pipa keluaran untuk air garam yang telah dipekatkan. Kemudian di dalam membran osmosis balik tersebut terjadi proses penyaringan dengan ukuran molekul. Yaitu pemisahan partikel yang molekulnya lebih besar dari pada molekul air, misalnya molekul garam dan lainnya, ke dalam air buangan. Karena itu air yang akan masuk ke dalam membran osmosa balik harus mempunyai persyaratan tertentu, misalnya kekeruhan harus nol, kadar besi harus kurang dari 0,1 mili gram, densitas ph juga harus dikontrol agar tidak terjadi pengerakan kalsium karbonat dan lainnya.
Inilah yang menjadi kelemahan dari teknologi ini. Yaitu penyumbatan pada selaput membran oleh bakteri dan kerak kapur atau fosfat. Yang umum terdapat dalam air asin atau laut. Untuk mengatasi kelemahannya, pada unit pengolah air osmosa balik selalu dilengkapi dengan unit anti pengerakkan dan anti penyumbatan oleh bakteri (Anonymous, 2009).
Untuk menghasilkan air bersih dari air laut ini dibutuhkan energi listrik sebesar 4,72 kilowatt jam per meter kubik. Sekarang ini rata-rata listrik per kilowatt jam mencapai harga Rp 1.000. Produksi air bersih dari proses desalinasi bisa bersaing dengan tarif air bersih kelas komersial yang mencapai Rp 12.500 per meter kubik. Bahkan, tarif air bersih industri mencapai Rp 15.000 per meter kubik. Nilai produksi air bersih dengan teknologi desalinasi yang dikembangkan sekarang mampu menekan harga hingga Rp 9.000 per meter kubik (Alamendah, 2010).
Dengan memanfaatkan air laut dan mengolahnya sebagai air minum berarti juga mengurangi pemakaian air bawah tanah yang diyakini sebagai penyebab utama penurunan tanah di berbagai tempat terutama di Jakarta. Bahkan, tingkat penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan di Jakarta, membuat kita was-was akan bahaya tenggelamnya ibu kota negara kita dalam beberapa puluh tahun kedepan.
III.             Simpulan
Dengan desalinasi, air laut atau air payau yang diproses dengan reverse osmosis diubah menjadi air bersih sehingga dapat menjawab masalah krisis ketersediaan air bersih bagi masyarakat pesisir. Dengan memanfaatkan air laut sebagai air bersih dapat mencegah terjadinya penurunan tanah yang sewaktu – waktu dapat terjadi jika kita terus - menerus menggunakan air tanah.
IV.             Ucapan Terima Kasih
            Puji dan syukur yang tiada terkira penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya artikel telaah pustaka ini dapat terselesaikan dengan baik. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom., M.Sc., Ph.D dosen Penyajian Ilmiah yang secara langsung telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
V.                Daftar Pustaka
Alamendah. 2010 .Desalinasi Memanfaatkan Air Laut Untuk Minum. http://alamendah.wordpress.com/2010/10/05/ (Oktober 2010).
Anonymous. 2009. Saatnya Memanfaatkan Air Laut Untuk Minum.http://www.indonesiaindonesia.com/f/130609.
Anonymous. 2008. Desalinasi Menguapkan Air Laut Menjadi Air Bersih.http://bacatanda.wordpress.com/2008/01/24 (24 Januari 2008).
Anonymous. 2010. Sudah Waktunya Memanfaatkan Air Laut. http://theedukasi.blogspot.com/2010/09/ (September 2010).
Anonymous. 2010. Proses Desalinasi Air laut jadi Air layak Minum.http://www.kaskus.us/showthread.php4300494 (Juni 2010).
Anonymous. 2009. Teknologi Osmosis Balik Ubah Air Asin Menjadi Layak Minum. http://www.puspiptek.info/?q=id/node/732 (Juni 2009).
Anonymous. 2010. Teknologi Desalinasi, Menjawab Kebutuhan Air Bersih di Pesisir. Warta Pasar Ikan. Dirjen Pemasaran Dalam Negeri , Direktorat Jenderal Pengolahan Dan pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan Dan Perikanan. Jakarta Pusat.85: 26 - 27.
Anonymous, 2009. Air Minum dari Air Laut. http://www.muslimdaily.net/artikel/ringan/3903/  (Agustus 2009).
Anonymous, 2009. Sistem Osmosis Balik. http://4ld1.wordpress.com/2009/08/13/ (Agustus 2009).
Gibbs, Dawn. 2010. Bagaimana cara Mengubah Air Laut Menjadi Air Minum Penggunaan Home. http://www.ehow.com/how_6934674  (September 2010).
Herlambang, Arie. Pengolahan Air Asin Atau Payau Dengan Sistem Osmosis Balik. http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Ro/ro.html.
Shofinita, Dian.2009.Desalinasi Air Garam. http://majari magazine.com/2009/05/ (Mei 2009).