Oleh: Parpen Siregar
- I. Pendahuluan
Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae) merupakan salah
satu dari enam sub-spesies harimau yang masih tersisa di dunia. Kelima
sub-spesies lainnya adalah Harimau Amur/Siberia
(Panthera tigris altaica), Harimau Bengal/India
(Panthera tigris tigris), Harimau Indochina
(Panthera tigris corbetti), Harimau China Selatan
(Panthera tigris amoyensis), dan harimau Malaya
(Panthera tigris jacksoni) (WWF, 2010)
. Harimau
sumatera
merupakan harimau terkecil dari keseluruhan sub-spesies harimau,
dengan panjang mencapai 2,5 meter dan berat 140 kilogram. Warna bulunya
lebih gelap dari jenis harimau lainnya dan bervariasi dari warna
kuning kemerahan sampai oranye gelap dengan belang berwarna hitam.
Perburuan, konflik antara harimau dengan manusia, dan terfragmentasi dan
perusakan habitat alami mereka, mengakibatkan penurunan populasi
harimau sumatera secara signifikan. Oleh karena itu sejak tahun 1996
lembaga konservasi IUCN mengkategorikan harimau sumatera dsebagai satwa
yang Sangat Kritis Terancam Punah
(critically endangered) (Dephut,
2007). Selain itu harimau sumatera juga masuk dalam CITES Appendix I
yang artinya perdagangan internasional komersial dilarang.
Keberadaan harimau sumatera saat ini menjadi sebuah polemik
tersendiri karena mengakibatkan konflik antara manusia dan harimau.
Rusaknya habitat alami harimau sumatera mengakibatkan satwa ini
tersingkir dari habitat alaminya, sehingga menimbulkan gangguan terhadap
manusia. Serangan harimau sumatera terhadap manusia dan hewan ternak
telah sering terjadi. Serangan harimau sumatera yang menewaskan 3 ekor
ternak sapi terjadi di Desa Talang Kebun Kecamatan Lubuk Sandi Kabupaten
Seluma Propinsi Bengkulu (Kompas, 2008
b). Sementara itu
dalam kurun waktu dua tahun terakhir di Popinsi Sumatera Barat tercatat
26 kasus konflik harimau dengan manusia, sebanyak 16 kasus menghilangkan
nyawa manusia dan sisanya memangsa ternak masyarakat (Kompas, 2008
a).
Untuk mencegah gangguan harimau sumatera terhadap manusia dan
mempertahankan kelestarian spesies tersebut, maka sangat diperlukan
upaya konservasi terhadap harimau sumatera. Dengan demikian harimau
sumatera dapat dipertahankan kelangsungannya dan terhindar dari
kepunahan seperti yang telah dialami oleh harimau Bali (
Panthera tigris balica) dan harimau Jawa (
Panthera tigris sondaica).
Kedua harimau tersebut telah punah dalam 50 tahun terakhir. Harimau
Bali dan Jawa terakhir kali diketahui keberadaannya pada akhir tahun
1930-an dan 1970-an.
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengidentifikasi degradasi
habitat harimau sumatera dan memberikan alternatif solusi rehabilitasi
harimau sumatera agar terjaga kelestariannya.
- II. Degradasi Habitat Harimau Sumatera
Seperti namanya, harimau Sumatera adalah satwa endemik Pulau
Sumatera. Menurut data Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam (1994), pada tahun 1992 hanya terdapat sekitar 400 ekor harimau
sumatera di lima taman nasional (TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, TN
Way Kambas, TN Berbak, dan TN Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka
margasatwa (Kerumutan dan Rimbang), sementara 100 ekor lainnya berada di
luar kawasan konservasi. Namun jumlah tersebut diduga terus mengalami
penurunan. Ancaman terbesar terhadap kelestarian harimau sumatera adalah
degradasi habitat alaminya karena aktifitas manusia. Aktifitas manusia
mengakibatkan semakin terfragmentasinya habitat harimau sumatera,
padahal pada area yang sempit harimau sumatera sulit untuk hidup
panjang. Hasil estimasi ekstrapolasi memperkirakan bahwa kepadatan
populasi harimau sumatera di Tesso Nilo (1,3 individu per 100 km
2), Rimbang Baling (0,7 individu per 100 km
2), Suaka Margasatwa Kerumutan (2,3 individu per 100 km
2) (Hutajulu, 2003), Taman Nasional Bukit Barisan Lampung mencapai 1,6 individu per 100 km
2 (O’Brien
et al., 2003), dan di Taman Nasional Way Kambas dengan kepadatan mencapai 4,3 individu per 100 km
2 (Franklin
et al., 1999).
Lubis (2000) melaporkan rata-rata kepadatan harimau sumatera di Taman
Nasional Batang Gadis adalah 1,1 individu per 100 km
2, dengan
perbandingan harima jantan dan betina 3 : 1. Berikut ini diuraikan
penyebab degradasi habitat dan populasi harimau sumatera.
- 1. Deforestasi dan Degradasi.
Deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera yang sangat besar
akan mengancam terhadap keanekaragaman hayati yang ada. Deforestasi dan
degradasi akan menyebabkan hilangnya hutan atau terpotong-potongnya
hutan menjadi bagian-bagian kecil dan terpisah. Alih fungsi hutan banyak
digunakan untuk perkebunan, hutan tanaman industri, pemukiman,
industri, dll. Investigasi Eyes on the Forest (2008) melaporkan bahwa
pembuatan jalan
logging oleh Asia Pulp & Paper (APP)
sepanjang 45 km yang membelah hutan gambut di Senepis Propinsi Riau
mengakibatkan penyusutan luas hutan dan memicu peningkatan konflik
manusia-harimau di kawasan tersebut. Perusakan habitat dan perburuan
hewan mangsa telah diketahui sebagai faktor utama yang menyebabkan
turunnya jumlah harimau secara dramatis di Asia (Seidensticker
et al., 1999). Sementara itu Lynam
et al. (2000)
yang menyatakan bahwa harimau sangat tergantung pada tutupan vegetasi
yang rapat, akses ke sumber air, dan hewan mangsa yang cukup.
- 2. Perburuan dan Perdagangan
Perburuan ilegal
(illegal hunting) merupakan salah satu
ancaman terhadap kelestarian harimau sumatera. Bagian tubuh harimau yang
diperjualbelikan terutama kulit dan tulang untuk keperluan obat-obatan
tradisional bahkan untuk keperluan supranatural. Mills and Jackson
(1994) melaporkan pada periode 1970 – 1993 tercatat sebanyak 3.994 kg
tulang harimau sumatera diekspor dari Indonesia ke Korea Selatan. Selain
bagian tubuhnya, harimau sumatera juga diperjualbelikan sebagai hewan
peliharaan dan simbol status.
- 3. Konflik dengan Manusia
Tingginya pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan pertumbuhan
ekonomi telah menyebabkan peningkatan kebutuhan akan lahan. Alih fungsi
hutan untuk keperluan manusia menjadi tidak terhindarkan. Kehilangan
habitat alaminya menimbulkan potensi konflik antara manusia dengan
harimau sumatera. Konflik antara manusia-harimau merugikan kedua belah
pihak; manusia rugi karena kehilangan hewan ternak bahkan nyawa
sedangkan harimau rugi karena akan menjadi sasaran balas dendam manusia
yang marah dan ingin membunuhnya. Sementara itu dalam kurun waktu dua
tahun terakhir di Popinsi Sumatera Barat tercatat 26 kasus konflik
harimau dengan manusia, sebanyak 16 kasus menghilangkan nyawa manusia
dan sisanya memangsa ternak masyarakat (Kompas, 2008
a). Lebih
jauh Nythus and Tilson (2004) mencatat berturut-turut terdapat sebanyak
48, 36, dan 34 kali konflik antara manusia dan harimau sumatera di
Propinsi Sumatera Barat, Riau, dan Aceh selama periode 1978 – 1997.
Dalam kurun waktu tersebut tercatat sebanyak 146 orang meninggal dunia,
30 orang luka-luka, dan 870 ekor ternak terbunuh.
- 4. Kemiskinan
Kemiskinan masyarakat di sekitar hutan telah mendorong terjadinya
perambahan dan perusakan hutan berupa pembukaan hutan untuk keperluan
pemukiman, perladangan, dan perkebunan. Kerusakan dan fragmentasi hutan
yang merupakan habitat harimau akan mengakibatkan gangguan terhadap
kelestarian harimau. Selain itu masyarakat juga menggantungkan hidup
pada sumberdaya hutan. Secara tradisional masyarakat memburu satwa yang
merupakan mangsa harimau untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Kemiskinan mendorong masyarakat memburu satwa liar untuk kebutuhan
makannya dan juga untuk dijual. Perburuan satwa liar yang merupakan
mangsa harimau sumatera sangat berpengaruh terhadap kelestarian harimau
sumatera. Karena harimau sumatera sangat tergantung dengan kelimpahan
mangsanya.
- 5. Berkurangnya Mangsa
Dalam struktur piramida makanan, harimau merupakan
top predator. Satwa
predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5 – 6 kg daging yang
sebagian besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa
(Sunquist
et al., 1999). Pakan utama harimau sumatera adalah rusa sambar
(Cervus unicolor) dan babi hutan
(Sus scorfa) (Wibisono, 2006). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai alternatif mangsa seperti kijang
(Muntiacus muntjac), kancil
(Tragulus sp), beruk
(Macaca nemestrina), landak
(Hystrix brachyura), trenggiling
(Manis javanica), beruang madu
(Helarctos malayanus), dan kuau raja
(Argusianus argus). Sriyanto
dan Rustiati (1997) secara jelas menunjukkan adanya hubungan positif
antara penyusutan mangsa dengan populasi harimau. Tingginya laju
deforestasi dan degradasi hutan juga akan mengakibatkan penurunan mangsa
harimau sumatera. Semakin sedikitnya mangsa juga akan mengakibatkan
penurunan populasi harimau sumatera.
III. Upaya Konservasi Harimau Sumatera
Payung hukum kegiatan konservasi di Indonesia telah tertuang dan
dilindungi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi
harimau sumatera awalnya bermana
Sumatra Tiger Project (STP) telah
dimulai tahun 1995 di Taman Nasional Way Kambas Propinsi Lampung. Saat
ini kegiatan yang bernama Program Konservasi Harimau Sumatera, juga
dikembangkan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Propinsi Jambi dan Riau
dan Kawasan Konservasi Harimau Senepis Buluhala Propinsi Riau. Upaya
konservasi harimau sumatera sebenarnya bukan semata hanya bertujuan
untuk menjaga kelestarian harimau sumatera saja, tetapi juga melindungi
spesies lainnya. Karena harimau sumatera merupakan species payung (
umbrella species)
yang artinya dengan melindungi spesies ini secara tidak langsung juga
melindungi spesies lainnya yang hidup di habitat yang sama.
Upaya konservasi harimau sumatera bertujuan untuk mempertahankan
kelestarian harimau sumatera. Beberapa upaya tersebut adalah sebagai
berikut :
- Memulihkan dan meningkatkan populasi harimau sumatera beserta bentang alamnya pulih. Upaya konservasi in-situ
merupakan program utama konservasi harimau sumatera dengan memulihkan
populasi harimau dan habitat alaminya. Beberapa kegiatan yang dilakukan
antara lain adalah :
- Membangun dan meningkatkan koneksitas antara
habitat-habitat utama harimau sumatera melalui pengembangan koridor
dalam rangka memperluas daerah bagi harimau sumatera untuk menjelajah.
Karena harimau sumatera memerlukan teritori (wilayah) yang luas untuk
mendapatkan mengsa yang cukup. Semua potensi habitat dan sebaran harimau
sumatera perlu dimasukkan sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses
perencanaan zonasi taman nasional (Lubis, 2000).
- Membina kekayaan genetik unit-unit populasi harimau
sumatera, terutama pada habitat yang kritis untuk menghindari erosi
ragam genetik melalui pengembangan
restocking populasi dan translokasi.
- Mengembangkan upaya pengelolaan mitigasi konflik untuk
menyelamatkan harimau yang bermasalah dengan relokasi, translokasi, dan
penetapan kawasan pelepasliaran alami.
- Meningkatkan program pemantauan terhadap populasi,
ekologi, dan habitat harimau sumatera dengan memperkuat dasar hukum dan
kapasitas aparatur yang berwenang.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah ukuran populasi
secara biologis dan ekologis harimau sumatera dalam jumlah ideal dan
habitat serta daerah jelajah harimau sumatera tidak berkurang, bahkan
diharapkan dapat bertambah.
- Meningkatkan infrastuktur dan kapasitas instansi terkait dalam
pemantauan dan evaluasi terhadap upaya konservasi harimau sumatera dan
satwa mangsanya. Kegiatan yang dilakukan adalah :
- Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dengan
melaksanakan berbagai program peningkatan kapasitas tim konservasi
harimau sumatera baik yang dikelola oleh pemerintah, lembaga non
pemerintah, maupun masyarakat.
- Memperkuat infrastrukur instansi yang melakukan
pelaksanaan dan pemantauan konservasi harimau. Selain itu juga dilakukan
penyusunan rencana pengelolaan konservasi pada setiap bentang alam
harimau sumatera sesuai dengan karakteristik dan potensi di lapangan.
- Mengembangkan pusat informasi terpadu tentang konservasi
harimau sumatera yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah terlaksananya
pemantauan kinerja konservasi harimau sumatera secara efektif oleh
Kementrian Kehutanan selaku penanggung jawab utam beserta mitra
kerjanya.
- Membangun jejaring kerja dan infrastruktur komunikasi dan
menciptakan kelompok masyarakat yang peduli dan bertanggung jawab
terhadap kelestarian harimau sumatera. Konservasi harimau sumatera
adalah tanggung jawab semua pihak. Oleh karena itu harus dijalin
jejaring kerja dan komunikasi yang baik diantara semua pihak. Kegiatan
yang dilakukan adalah :
- Membangun jaringan komunikasi dan kemitraan untuk
meningkatkan kerjasama konservasi di semua tingkatan baik lokal,
nasional, maupun internasional.
- Mengembangkan pengawasan terpadu dan intensif antara
pemerintah, lembaga non pemerintah, dan masyarakat terhadap kegiatan
konservasi. Selain itu juga dilakukan pendidikan dan penyadartahuan
masyarakat secara terpadu dan berkesinambungan tentang pentingnya
konservasi harimau sumatera.
- Membangun mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dalam mendukung kegiatan konservasi harimau sumatera.
Indikator kebersasilannya adalaha terbangunnya komunitas konservasi
harimau sumatera di Indonesia yang berjalan dengan baik dan dapat
berafiliasi dan membangun jaringan
(networking) dengan jaringan konservasi harimau internasional.
- Membangun program konservasi ex-situ yang bermanfaat dan selaras dengan upaya kelestarian harimau sumatera di alam. Konservasi ex-situ
merupakan salah satu alternatif untuk menjaga kelestarian harimau
sumatera. Saat ini terdapat 371 ekor harimau sumatera di penangkaran
baik di dalam maupun di luar negeri (Dephut, 2007). Namun diperlukan
regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil penangkaran harimau sumatera.
Perlu dirumuskan standar-standar konservasi ex-situ agar sesuai dengan standar etika dan kesejahteraan bagi harimau sumatera. Selain itu kajian skema conservation/breeding loan dapat dikembangkan dan reintroduksi harimau sumatera dapat dilaksanakan dengan efektif.
Indikator keberhasilan kegiatan ini adalah konservasi harimau
sumatera di luar kawasan konservasi mendapat dukungan penuh dari
berbagai pihak dan program konservasi
ex-situ harimau sumatera dapat mendukung konservasi
in-situ secara efektif.
IV. Simpulan
Manusia sebagai
mandate cultural haruslah memelihara bumi
dan memanfaatkan sumberdaya dan daya dukungnya secara bertanggung jawab.
Terancamnya kelestarian harimau sumatera tidak lepas dari tindakan
manusia yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu upaya konservasi
harimau sumatera mendesak untuk segera dilakukan dengan konsisten dan
didukung seluruh
stake holder dengan merasa memiliki dan membantu upaya pelaksanaan konservasi.
Daftar Pustaka
Departemen Kehutanan. 2007.
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) 2010 – 2017. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Direktorat Perlidungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1994.
Strategi Konservasi Harimau Sumatera. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Eyes on the Forest. 2008.
Laporan Investigasi Eyes on The Forest :
Asian Pulp & Paper Mengancam Hutan Senepis, Habitat Harimau
Sumatra, serta Iklim Global. www.eyesontheforest.or.id (Diakses 02 Juni 2010).
Franklin, N., Bastoni, S., Siswomartono, D., Manansang, J., and
Tilson, R. 1999.Last of the Indonesian tigers: a cause for optimism. In
Siedensticker, J., Christie, S. & Jackson, P. (eds).
Riding the tiger: Tiger conservation in human dominated landscapes. Cambridge University Press. Cambridge.
Hutajulu, M.B. 2007.
Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatra [Panthera tigris sumatrae (Pecock, 1929)]
Berdasarkan Camera Trap
di Lansekap Tesso Nilo – Bukit Tiga Puluh, Riau. Tesis Program Pasca Sarjana Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia (Tidak Dipublikasikan).
Kompas. 2008
a.
Terkam Orang, Harimau Sumatera Diburu. Harian Kompas Edisi 31 Januari 2008.
Kompas. 2008
b.
Harimau Mengganas di Bengkulu, Memangsa Tiga Sapi. Harian Kompas Edisi 20 Februari 2008.
Lubis, A.F. 2009.
Penyebaran Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
Sebagai
Salah Satu Pertimbangan Dalam Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional
Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatra Utara. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara (Tidak Dipublikasikan).
Lynam, A.J., T. Palasuwan, J. Ray, and S. Galster. 2000.
Tiger Survey Techniques and Conservation Handbook. Wildlife Conservation Society-Thailand Program. Bangkok.
Mills, J. A., and P. Jackson. 1994
. Killed for a Cure: A Review of the Worldwide Trade in Tiger Bone. TRAFFIC International.Cambridge, UK.
Nyhus, P. J., and R. Tilson. 2004. Characterizing Human-Tiger Conflict in Sumatra, Indonesia: Implications for Conservation.
Oryx 38(1) : 68-74.
O’Brien, T. G., Kinnaird, M. F., and Wibisono, H. T. 2003. Crouching
Tiger, Hidden Prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical
forest landscape.
Animal Conservation 6: 131-139.
Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson. 1999. Preface.
In: Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.).
Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
Sriyanto dan Rustiati, E.L. 1997. Hewan mangsa potensial harimau Sumatra di Taman Nasional Way Kambas, Lampung.
Dalam: Tilson, R., Sriyanto, E.L. Rustiati, Bastoni, M. Yunus, Sumianto, Apriawan, dan N. Franklin (ed.).
Proyek Penyelamatan Harimau Sumatra: Langkah-langkah konservasi dan Manajemen In-situ dalam Penyelamatan Harimau Sumatra. LIPI. Jakarta.
Sunquist, M.E, K.U. Karanth, and F.C. Sunquist. 1999. Ecology,
behaviour and resilience of the tiger and its conservation needs.
In: Siedensticker, J., S. Christie, and P. Jackson (eds.).
Ridding the Tiger: Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419).
Wibisono, H. T. 2006.
Population Ecology of Sumatran Tigers
(Panthera tigris sumatrae) and Their Prey in Bukit Barisan Selatan
National Park, Sumatra, Indonesia. Thesis Master. The Department of Natural Resources Conservation, University of Massachusetts, Amherst, MA, USA.
WWF. 2010.
Tiger Facts. www.wwf.or.id/savesumatra (Diakses 01 Juni 2010)